Filsafat Pendidikan Aliran Esensialisme



BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang Masalah
Filsafat pendidikan adalah ilmu yang mempelajari dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis. Secara filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya.
Pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang bersifat modernisasi dapat pula menjadikan pendidikan itu kehilangan arah. Berhubung dengan itu pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih yang mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu. Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama 4 abad belakangan ini, dengan perhitungan Zaman Renaissance, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan esensialistis awal. Essensialisme percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.
Dengan pengembalian pola pendidikan pada pengambilan nilai-nilai masa lalu, esensialisme percaya bahwa keefektifan pembelajaran akan tercipta. Esensialisme sangat menekankan pada pendidikan dimasa lalu dan cenderung tidak mendukung dengan pola pendidikan masa kini atau yang sering disebut sebagai modernisasi pendidikan. Bagi esensialisme pola-pola pendidikan masa lalu lebih memberikan banyak kemutakhiran pola berpikir yang ada dalam diri siswa. Modernisasi dianggap sebagai zaman yang hanya menambahkan banyak nilai-nilai baru yang kalah dengan nilai-nilai lama dalam hal menghasilkan siswa yang berkompeten, sehingga nilai-nilai lamalah yang mempunyai peranan penting jika dilihat dari kacamata esensialisme.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan mengenai  aliran filsafat esensialisme.

B.     Rumusan Masalah
1. Apa pengertian aliran esensialisme ?    
2. Apa latar belakang munculnya aliran filsafat esensialisme ?
3. Apa ciri-ciri utama aliran filsafat esensialisme ? 
4. Apa prinsip-prinsip filosofis aliran filsafat esensialisme ?
5. Bagaimana implikasinya terhadap pendidikan ?
6. Apa tanggapan kelompok mengenai aliran filsafat esensialisme ?

C.   Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian aliran filsafat esensialisme.
2. Untuk mengetahui latar belakang munculnya aliran filsafat esensialisme.
3. Untuk mengetahui ciri-ciri utama aliran filsafat esensialisme.
4. Untuk mengetahui prinsip-prinsip filosofis aliran filsafat esensialisme.
5. Untuk mengetahui implikasinya terhadap pendidikan.
6. Untuk mengetahui tanggapan kelompok mengenai aliran filsafat esensialisme.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Aliran Esensialisme

Kata esensialisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat dua kata, yaitu “esensi” yang berarti “hakikat, inti, dasar” dan ditambahkan menjadi “esensial” yang berarti “sangat prinsip, sangat berpengaruh, sangat perlu”. Secara etimologi, esensialisme berasal dari bahasa Inggris yakni “Essential” yang berarti inti atau pokok dari sesuatu dan “Isme” berarti aliran, mazhab atau paham.
Esensialisme dikenal sebagai gerakan pendidikan dan juga sebagai aliran filsafat pendidikan. Esensialisme berusaha mencari dan mempertahankan hal-hal yang esensial, yaitu sesuatu yang bersifat inti atau hakikat fundamental, atau unsur mutlak yang menentukan keberadaan sesuatu. Menurut Esensialisme, yang esensial tersebut harus diwariskan kepada generasi muda agar dapat bertahan dari waktu ke waktu karena itu Esensialisme tergolong tradisionalisme.

B.     Latar Belakang Filsafat Esensialisme

Gerakan esensialisme muncul pada awal tahun 1930, dengan beberapa orang pelopornya, seperti  William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed, dan Isac L. Kandell. Pada tahun 1938 mereka membentuk suatu lembaga yang disebut “The Esensialist Commite for the Advancement of American Education”. Bagley sebagai pelopor esensialisme adalah seorang guru besar pada “Theacher College”, Columbia University. Ia yakin bahwa fungsi utama sekolah adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah kepada generasi muda.
Esensialisme suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik terhadap trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Untuk mengangkat filsafat esensialis, Bagley dan rekan-rekannya mendanai jurnal pendidikan, School and Society.
Bagley dan rekan-rekannya yang memiliki kesamaan pemikirn dalam hal pendidikan sangat kritis terhadap praktek pendidikan progresif. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral diantara kaum muda. Setelah Perang Dunia II, kritik terhadap pendidikan progresif telah tersebar luas dan tampak merujuk pada satu kesimpulan: sekolah-sekolah gagal dalam tugas mereka mentransmisikan warisan-warisan sosial dan intelektual Negara.
Esensialisme, yang memiliki beberapa kesamaan dengan perenialisme, berpendapat bahwa kultur kita telah memiliki suatu inti pengetahuan umum yang harus diberikan di sekolah-sekolah kepada para siswa dalam suatu cara sistematik dan berdisiplin. Tidak seperti perenialisme, yang menekankan pada sejumlah kebenaran-kebenaran eksternal, esensilisme menekankan pada apa yang mendukung pengetahuan dan keterampilan yang diyakini penting yang harus diketahui oleh para anggota masyarakat yang produktif. Beberapa buku telah ditulis yang mengeluhkan penurunan kualitas pendidikan sekolah secara serius di Amerika Serikat dan menuntut suatu pendekatan esensialis pada pendidikan sekolah.
Esensialisme, seperti halnya perenialisme dan progresivisme, bukan merupakan suatu aliran filsafat tersendiri, yang mendirikan suatu bangunan filsafat, melainkan merupakan suatu gerakan dalam pendidikan yang memprotes terhadap pendidikan progresivisme. Dalam pemikiran pendidikannya memang pada umumnya didasari atas filsafat tradisional idealisme klasik dan realisme. Namun, mungkin juga mereka memiliki latar belakang pemikiran filsafat yang bervariasi.
Esensialisme mengadakan protes terhadap progressivisme, namun dalam protes tersebut tidak menolak atau menentang secara keseluruhan pandangan progresivisme seperti halnya yang dilakukan oleh perenialisme. Ada beberapa aspek dari progresivisme yang secara prinsipal tidak dapat diterimanya. Mereka berpendapat bahwa betul-betul ada hal-hal yang esensial dari pengalaman anak yang memiliki nilai esensial dari pengalaman anak yang memiliki nilai esensial dan perlu dibimbing. Semua manusia dapat mengenal yang esensial tersebut apabila menusia berpendidikan. Akar filsafat mereka mungkin idealism, mungkin realism, namun kebanyakan mereka tidak menolak epistemology Dewey.
Esensialisme menyajikan hasil karya mereka untuk:
a)      Penyajian kembali materi kurikulum secara tegas.
b)      Membedakan program-program di sekolah secara esensial.
c)      Mengangkat kembali wibawa guru dalam kelas, yang telah kehilangan wibawanya oleh progresivisme.
Seperti halnya perenialisme, esensialisme membantu untuk mengembalikan subject matter ke dalam pusat proses pendidikan, namun tidak mendukung pandangan perenialisme bahwa subject matter yang benar adalah “realitas abadi” yang disajikan dalam buku-buku besar dari peradaban Barat. Buku-buku besar tersebut dapat digunakan, namun bukan untuk mereka sendiri, melainkan untuk dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang ada pada dewasa ini.
Berbicara tentang perubahan, esensialisme berpendapat bahwa perubahan merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat diubah dalam kehidupan sosial. Mereka mengakui evolusi manusia dalam sejarah, namun evolusi itu harus terjadi sebagai hasil desakan masyarakat secara terus-menerus. Perubahan terjadi sebagai kemampuan intelegensi manusia yang mampu mengenal kebutuhan cara-cara bertindak, organisasi, dan fungsi sosial.

C.     Ciri-ciri Utama Esensialisme

Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing. Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern.
Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman. Realisme modern, yang menjadi salah satu eksponen essensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. John Butler mengutarakan ciri dari keduanya yaitu, alam adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik. Dan disana terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental.
Bagi aliran ini “Education as Cultural Conservation”, pendidikan sebagai pemelihara kebudayaan. Karena dalil ini maka aliran Essentialisme dianggap para ahli sebagai “Conservative road to culture”, yakni aliran ini ingin kembali kepada kebudayaan lama, warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia.
Esensialisme percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Kebudayaan yang mereka wariskan kepada kita hingga sekarang, telah teruji oleh segala zaman, kondisi dan sejarah. Kebudayaan demikian, ialah essensia yang mampu pula mengemban hari kini dan masa depan umat manusia. Kebudayaan sumber itu tersimpul dalam ajaran para filosof ahli pengetahuan yang agung, yang ajaran dan nilai-nilai ilmu mereka bersifat kekal dan monumental.
Kesalahan dari kebudayaan moderen sekarang Essensialisme ialah kecenderungannya, bahkan gejala-gejala penyimpangannya dari jalan lurus yang telah ditanamkan kebudayaan warisan itu. Fenomena-fenomena sosial-kultural yang tidak kita ingini sekarang, hanya dapat diatasi dengan kembali secara sadar melalui pendidikan, ialah kembali ke jalan yang telah ditetapkan itu. Hanya dengan demikian, kita boleh optimis dengan masa depan kita, masa depan kebudayaan umat manusia.
Ciri-ciri filsafat pendidikan esensialisme yang disarikan oleh William C. Bagley adalah sebagai berikut:
  1. Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri siswa.
  2. Pengawasan pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spesies manusia.
  3. Kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan, menegakkan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
  4. Esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah.

D.     Prinsip-Prinsip Filosofis Esensialisme
1.      Hakikat Manusia
Pandangan ontologis esensialisme merupakan suatu konsepsi bahwa dunia atau realita ini dikuasai oleh tata (order) tertentu yang mengatur dunia beserta isinya. Hal ini berarti bahwa bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita, dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan tata tersebut.
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Di balik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri.
Realisme modern yang menjadi salah satu eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. Manusia memiliki intelegensi, ia mampu berpikir, dan karenanya dapat menyesuaikan diri terhadap dunia eksternalnya sehingga tetap bertahan diri dalam perjuangannya menghadapi dunia eksternalnya.

2.      Hakikat Realitas
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsepsi bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula, ini berarti bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata tersebut. Dibawah ini adalah uraian mengenai penjabarannya menurut realisme dan idealisme:
a.      Realisme yang mendukung esensialisme disebut realisme objektif karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam serta tempat manusia didalamnya. Terutama sekali ada dua golongan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi realisme ini. Dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari alam fisik ini dapat dipahami berdasarkan adanya tata yang jelas khusus. Ini berarti bahwa suatu kejadian yang sederhanapun dapat ditafsirkan menurut hukum alam, seperti misalnya daya tarik  bumi.
b.    Idealisme objektif mempunyai pandangan kosmos yang lebih optimis dibandingkan dengan realisme objektif. Yang dimaksud dengan ini adalah bahwa pandangan-pandangannya bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa
totalitas dalam alam semesta ini pada hakikatnya adalah jiwa atau spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa segala sesuatu yang ada ini nyata. Ajaran-ajaran Hegel memperjelas pandangan tersebut diatas.
3.      Hakikat Pengetahuan
a.       Epistemologi Idealisme
Pandangan mengenai pengetahuan bersendikan pada pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang adanya merupakan refleksi dari Tuhan dan yang timbul dari hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Karena itu, dalam diri manusia tercermin suatu harmoni dari alam semesta, khususnya pikiran manusia (human mind). Manusia memperoleh pengetahuan melalui berpikir, intuisi, atau introspeksi.
Kriteria kebenaran idealisme yaitu pikiran atau kesadaran adalah primodial. Sejak kehidupan ada, sejak itu pula pikiran atau kesadaran ada. Kesadaran atau pikiran manusia bertugas membangun suatu rancangan dunia dalam yang dianggap paling mendekati realitas luar absolut. Untuk itu, maka logika atau penalaran menjadi penting, sebab memang logika atau penalaran itu merupakan bagian yang sangat esensial dari realitas. Karena itu, sesuatu pengetahuan dikatakan benar bukan karena berguna untuk memecahkan masalah atau untuk kehidupan praktis, sebagaimana dianut progresivist, tetapi suatu pengetahuan dikatakan benar karena ia memang benar, jadi kebenaran bersifat intrinsic, bukan instrumental. Jadi, kebenaran merupakan perwujudan dari realitas tertinggi. Sebab itu, uji kebenaran pengetahuan dlakukan melalui uji koherensi atau konsistensi logis ide-idenya (Madjid Noor,dkk, 1987). 
b.      Epistemologi Realisme
Sumber pengetahuan menurut Realisme adalah dunia luar subyek, pengetahuan diperoleh melalui pengalaman, atau pengamatan. Kita mengetahui sesuatu jika kita mengamati atau mengalami sesuatu melalui kontak lamgsung melalui pancaindera. Pengetahuan sudah ada di dalam realitas, manusia tinggal menemukannya melalui pengamatan atau pengalaman.
Kriteria kebenaran menurut epistemologi realisme adalah suatu pengetahuan diakui benar jika pengetahuan itu sesuai dengan realitas eksternal (yang objektif) dan independen. Sebab itu, uji kebenaran pengetahuan dilakukan melalui uji korespondensi pengetahuan dengan realitas.

4.      Hakikat Nilai (Aksiologi)
a.       Aksiologi Idealisme
Para filsuf Idealisme sepakat bahwa nilai hakikatnya diturunkan dari realitan absolut. Realitan absolut merupakan hal nyata yang benar-benar ada yang bersifat mutlak. Karena itu nilai-nilai adalah abadi atau tidak berubah. Dalam kehidupan sosial, kualitas spiritual seperti kesadaran cinta bangsa dan patriotism merupakan nilai-nilai sosial yang perlu dijunjung tinggi, dan Hegel menyimpulkan bahwa karena Negara adalah manifestasi Tuhan, maka wajib bagi warga negara untuk setia dan menjunjung negara.   
b.      Aksiologi Realisme
Para filsuf realisme percaya bahwa standar nilai tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam, dan pada taraf yang lebih rendah diatur melalui konvensi atau kebiasaan, adat istiadat di dalam masyarakat ( Edward J. Power, 1982). Sejalan dengan konsep di atas, bahwa moral berasal dari adat istiadat, kebiasaan, atau dari kebudayaan masyarakat.

E.    Implikasi Aliran Esensialisme Terhadap Pendidikan
1.      Definisi Pendidikan
Bagi penganut Essensialisme pendidikan merupakan upaya untuk memelihara kebudayaan. Mereka percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia, sebab kebudayaan tersebut telah teruji dalam segala zaman, kondisi dan sejarah.
Tugas pendidikan adalah mengijinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang tidak terelakan (pasti) bersendikan kesatuan spiritual. (William T. Harris, 1835-1909) maksudnya sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun-menurun, dan menjadi penuntun penyesuaian orang kepada masyarakat.

2.      Tujuan Pendidikan
Pendidikan bertujuan untuk mentransmisikan kebudayaan untuk menjamin solidaritas sosial dan kesejahteraan umum (E.J. Power, 1982). Secara umum, essensialisme adalah model pendidikan transmisi yang bertujuan untuk membiasakan siswa hidup dalam masyarakat masa kini. Sekolah yang baik adalah sekolah yang berpusat pada masyarakat, “society centered school” , yaitu sekolah yang mengutamakan kebutuhan dan minat masyarakat (Madjid Noor, dkk, 1987). Konsep dasar pendidikan esensialisme adalah bagaimana menyusun dan menerapkan program-program esensialis di sekolah-sekolah.



Tujuan utama dari program-program tersebut di antaranya:
a.      Sekolah-sekolah esensialis melatih dan mendidik subjek didik untuk berkomunikasi dengan logis.
b.      Sekolah-sekolah mengajarkan dan melatih anak-anak secara aktif tentang nilai-nilai kedisiplinan, kerja keras dan rasa hormat kepada pihak yang berwenang atau orang yang memiliki otoritas.
c.      Sekolah-sekolah memprogramkan pendidikan yang bersifat praktis dan memberi anak-anak pengajaran yang mempersiapkannya untuk hidup.
Contoh sekolah yang mengutamakan kebutuhan dan minat masyarakat adalah SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) karena di Sekolah Menengah Kejuruan ini lebih mengutamakan minat dari individu.

3.      Peranan Guru
Bagi kaum Esensialis, guru seharusnya berperan aktif dalam pembelajaran. Ia sebagai penanggung jawab, pengatur ruangan, penyalur (transmiser) pengetahuan yang baik, penentu materi, metode, evaluasi dan bertanggung jawab terhadap seluruh wilayah pembelajaran.
Guru juga berperan sebagai mediator atau “jembatan” antara dunia masyarakat atau orang dewasa dengan dunia anak, dengan demikian inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik (G. kneller, 1971). Untuk menciptakan siswa yang mempunyai sikap dan perasaan solidaritas sosial dan ikut berperan dalam mewujudkan kesejahteraan umum. Pewarisan nilai-nilai luhur agama oleh sosok guru menjadi titik tekan tujuan pembelajaran esensialisme, dan pembelajaran yang berisikan warisan budaya dan sejarah dan di ikuti oleh keterampilan, sikap-sikap, dan nilai yang tepat merupakan unsusr-unsur esensial dari sebuah kurikulum pendidikan esensialisme.

4.      Peranan Siswa
            Peranan peserta didik adalah belajar, bukan untuk mengatur pelajaran. Belajar berarti menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan kepada angkatan berikutnya ( Imam Barnadib, 1984).  Esensialisme merupakan suatu filsafat yang menghendaki pendidikan bersendikan nilai-nilai yang tinggi dan menduduki posisi substansial dalam kebudayaan. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai yang ada di luar ke dalam jiwa peserta didik. Oleh karena itu, peserta didik perlu di latih agar memiliki kemampuan observasi yang tinggi untuk menyerap ide-ide atau nilai-nilai yang berasal dari luar dirinya (muhaimin, 2004;40-42). Menurut esensialisme, pendidikan adalah aktivitas pentransmisian atau pewarisan budaya dan sejarah sebagai inti pengetahuan yang telah terkumpul dan bertahan sepanjang waktu. Warisan budaya demikian perlu di ketahui pelestarian kebudayaan (Education as a Cultural Convervation). Esensialisme memberikan penekanan upaya kependidikan dalam hal pengujian ulang materi-materi kurikulum, memberikan pembedaan-pembedaan esensial dan non esensial dalam berbagai program sekolah dan memberikan kembali pengukuhan autoritas pendidik dalam suatu kelas di sekolah.

5.      Kurikulum
Kurikulum (isi pendidikan) direncanakan dan diorganisasi oleh orang dewasa atau guru sebagai wakil masyarakat, society centered. Kurikulum society-centered menyatakan bahwa peranan sosial maupun interaksi sosial harus merupakan penentu utama dalam kurikulum. Kurikulum esensialis menekankan pengajaran fakta-fakta kurikulum itu kurang memiliki kesabaran dengan pendekatan-pendekatan tidak langsung dan introspektif yang diangkat oleh kaum Progresivisme. Beberapa orang esensialis bahkan memandang seni dan ilmu sastra sebagai embel-embel dan merasa bahwa pelajaran IPA dan teknik serta kejuruan yang sukar adalah hal-hal yang benar penting diperlukan siswa agar dapat memberi kontribusi pada masyarakat.
Kurikulum Esensialisme seperti halnya Perenialisme, yaitu kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran (subject matter centered). Di sekolah dasar penekanannya pada kemampuan dasar membaca, menulis dan berhitung. Di sekolah menengah diperluas dengan perluasan pada matematika, sains, humaniora, bahasa dan sastra. Penguasaan terhadap materi kurikulum tersebut merupakan dasar yang esensial bagi “general education” (filsafat, matematika, IPA, sejarah, bahasa, seni dan sastra) yang diperlukan dalam hidup. Belajar dengan tepat berkaitan dengan disiplin tersebut akan mampu mengembangkan pikiran (kemampuan nalar) siswa dan sekaligus membuatnya sadar akan dunia fisik sekitarnya. Menguasai fakta dan konsep dasar yang esensial merupakan suatu keharusan.


6.      Metode
Dalam hal metode pendidikan, Esensialisme menyarankan agar sekolah-sekolah mempertahankan metode-metode tradisional yang berhubungan dengan disiplin mental, berupa metode ceramah yang memberikan perubahan perilaku kepada siswa yang muncul dari pengalaman guru. Metode problem solving memang ada manfaatnya, tetapi bukan prosedur yang dapat diterapkan dalam seluruh kegiatan belajar.  Alasannya, bahwa kebanyakan pengetahuan bersifat abstrak dan tidak dapat dipecahkan ke dalam masalah masalah diskrit (yang berlainan). Selain itu, bahwa belajar pada dasarnya melibatkan kerja keras, perlu menekankan disiplin (G. Kneller, 1971).

E.    Tanggapan Kelompok Terhadap Esensialisme
1.      Pendekatan Scientific dalam Implementasi Kependidikan pada Kurikulum 2013
Bagi aliran filsafat esensialisme guru menjadi pusat (teacher center) dari semua situasi pembelajaran yang berlangsung, baik dalam hal pemberian pengalaman belajar maupun kegiatan belajar mengajar dalam kelas. Guru adalah panutan satu-satunya yang dinilai dapat mengarahkan siswa ke arah yang lebih baik. Nilai guru dimasa lalu yaitu guru memiliki suatu kedisiplinan yang tinggi, religius (lengket dengan agama), memiliki wibawa, bersikap jujur dan bertanggung jawab, beretika, berjiwa besar dan memiliki etos kerja tinggi serta mengayomi masyarakat, kemudian pada sistem pendidikannya masih lengket dengan sistem budaya lokal.
Pada kurikulum 2013 pengajaran yang ada telah diberi buku panduan oleh pemerintah, guru hanya mengikuti apa yang telah tertera didalamnya, penyesuaian pengajaran juga diterapkan kembali, karena dalam kurikulum di SD telah bersifat tematik integrative. Siswa juga dituntut untuk lebih berperan aktif (student center) dalam pembelajaran mengingat peran guru hanya sebagai fasilitator.
Berdasarkan hasil penelitian, pembelajaran  berbasis  pendekatan  ilmiah mempunyai hasil yang lebih efektif bila  dibandingkan  dengan penggunaan pembelajaran dengan pendekatan  tradisional.  Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada  pembelajaran  tradisional, retensi  informasi  dari  guru  sebesar  10  persen setelah 15 menit  dan  perolehan  pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, retensi informasi dari  guru  sebesar  lebih  dari  90  persen  setelah  dua  hari  dan  perolehan  pemahaman  kontekstual sebesar 50-70 persen.
Proses  pembelajaran dengan  berbasis  pendekatan  ilmiah harus  dipandu  dengan  kaidah-kaidah pendekatan  ilmiah. Pendekatan  ini  bercirikan penonjolan  dimensi  pengamatan, penalaran, penemuan,  pengabsahan,  dan  penjelasan  tentang  suatu  kebenaran.  Dengan  demikian,  proses pembelajaran  harus  dilaksanakan  dengan  dipandu  nilai-nilai,  prinsip-prinsip,  atau  kriteria  ilmiah.
Berikut ini tujuh (7) kriteria sebuah pendekatan pembelajaran dapat dikatakan sebagai pembelajaran scientific, yaitu :
1.  Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika   atau penalaran tertentu, bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
2.     Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
3. Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran. 4. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran.
5.  Mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran.
6.   Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.











BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Aliran filsafat Esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama. Aliran Esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah, kurang terarah, tidak menentu dan kurang stabil.
Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Esensialisme merupakan paduan ide-ide filsafat Idealisme dan Realisme. Dan praktek-praktek filsafat pendidikan Esensialisme dengan demikian menjadi lebih kaya dibandingkan jika ia hanya mengambil posisi yang sepihak dari salah satu aliran yang ia sintesakan itu. Ide pokok idealisme berprinsip tentang semesta raya dan hakekat sesuatu. Ide pokok realisme berprinsip realita itu ada jika  independen terlepas daripada kesadaran jiwa manusia.
Tujuan pendidikan Esensialisme adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, dasar bertahan sepanjang waktu untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang tepat untuk membentuk unsur-unsur yang inti (esensiliasme) sebuah pendidikan sehingga berfungsi untuk warga negara supaya hidup sesuai dengan prinsip-prinsip dan lembaga-lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat.



B.     Saran
Saran penulis bagi pembaca khususnya para pendidik atau guru, yaitu :
1.   Hendaknya tidak meninggalkan nilai-nilai budaya lama dalam hal kependidikan, setidaknya dapat memadukan teknik pengajaran dengan metode lama, karena metode lama juga memiliki nilai-nilai positif untuk diterapkan.
2.   Selalu menjadi figur teladan dan kreatif serta inovatif dalam menciptakan pengajaran-pengajaran yang menarik bagi para siswanya.
3.   Selalu menyesuaikan teknik pengajaran dengan kurikulum yang telah ditetapkan, kurangi mengeluh dan terus mensiasati segala perubahan yang terjadi dalam dunia kependidikan agar tetap bertahan dan berhasil menjadi seorang guru yang profesional.





















DAFTAR PUSTAKA

Santoso. 2012. Kamus Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Agung Harapan.
Dinn Wahyuni, dkk. 2010. Pengantar Pendidikan.  Jakarta: Universitas Terbuka.
Syaripudin, Tatang & Kurniasih. 2014. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Percikan Ilmu.
Sadulloh, Uyoh. 2009. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2007. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP)

Proposal Kegiatan Study Wisata Museum