Pendekatan, Model dan Landasan Pengembangan Kurikulum

A. PENDEKATAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang seseorang terhadap suatu proses tertentu. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. Dengan demikian pendekatan pengembangan kurikulum menunjuk pada titik tolakatau sudut pandang secara umum tentang proses pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum mempunyai makna yang cukup luas. Menurut sukmadinata (2000 : 1), pengembangan kurikulum bisa berarti penyusun kurikulum yang sama sekali baru (curriculum construction), bisa juga menyempurnakan kurikulum yang telah ada (curuculum improvement). Selajutnya beliau juga menjelaskan, pada satu sisi pengembangan kurikulum berarti menyusun seluruh perangkat kurikulum mulai dari dasar-dasar kurikulum, struktur dan sebaran mata pelajaran, garis-garis besar program pengajaran, sampai dengan pedoman-pedoman pelaksanaan (macro curriculum). Pada sisi lainnya berkenaan dengan penjabaran kurikulum yang telah disusun oleh tim pusat menjadi rencana dan persiapan-persiapan mengajar yang lebih khusus, yang dikerjakan oleh guru-guru di sekolah, seperti penyusunan rencana tahunan, semester, satuan pelajaran, dan lain-lain (micro curriculum). Yang dimaksud pengembangan kurikulum dalam bahasan ini mencakup keduanya, tergantung pada konteks pendekatan dan model pengembangan kurikulum itu sendiri.
Pendekatan lebih menekankan pada usaha dan penerapan langkah-langkah atau cara kerja dengan menerapkan suatu strategi dan beberapa metode yang tepat, yang dijalankan sesuai dengan langkah-langkah yang sistematik untuk memperoleh hasil kerja yang lebih baik. Kurikulum merupakan suatu perangkat pernyataan yang memberikan makna terhadap kurikulum sekolah, makna tersebut terjadi karena adanya penegasan hubungan antara unsur-unsur kurikulum, karena adanya petunjuk perkembangan, penggunaan dan evaluasi kurikulum. Caswell mengartikan pengembangan kurikulum sebagai alat untuk membantu guru dalam melakukan tugas mengerjakan bahan, menarik minat murid dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Jadi pendekatan pengembangan kurikulum adalah cara kerja dengan menerapkan strategi dan metode yang tepat dengan mengikuti langkah-langkah pengembangan yang sistematis untuk menghasilkan kurikulum yang lebih baik.
Dilihat dari cakupan pengembangannya apakah curiculum construction atau curiculum improvement, ada dua pendekatan yang dapat diterapkan dalam pengembangan kurikulum. Pendekatan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Pendekatan Top Down
Pendekatan Top Down atau pendekatan administratif, yaitu pendekatan dengan sistem komando dari atas ke bawah. Dikatakan pendekatan Top Down, disebabkan pengembangan kurikulum muncul atas inisiatif para pejabat pendidikan atau para administrator atau dari para pemegang kebijakan (pejabat) pendidikan seperti dirjen atau kepala Kantor Wilayah. Selanjutnya dengan menggunakan semacam garis komando, pengembangan kurikulum menetes ke bawah. Oleh karena dimulai dari atas itulah, pendekatan ini juga dinamakan line staff model. Biasanya pendekatan ini banyak dipakai di negara-negara yang memiliki sistem pendidikan sentralisasi.
 Dilihat dari cakupan pengembangannya, pendekatan top down bisa dilakukan baik untuk menyusun kurikulum yang benar-benar baru (curiculum constraction) ataupun untuk penyempurnaan kurikulum yang sudah ada (kurikulum improvement). Prosedur kerja atau proses pengembangan kurikulum model ini dilakukan kira-kira sebagai berikut:
  1. Langkah pertama, dimulai dengan pembentukan tim pengarah oleh pejabat pendidikan. Anggota tim biasanya terdiri dari pejabat yang ada di bawahnya, seperti para pengawas pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan bisa juga ditambah dengan para tokoh dari dunia kerja. Tugas tim pengarah ini adalah merumuskan konsep dasar, garis-garis besar kebijakan, menyiapkan rumusan falsafah, dan tujuan umum pendidikan.
  2. Langkah kedua, adalah menyusun tim atau kelompok kerja untuk menjabarkan kebijakan atau rumusan-rumusan yang telah disusun oleh tim pengarah. Anggota kelompok kerja ini adalah para ahli kurikulum, para ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, ditambah dengan guru-guru senior yang dianggap sudah berpengalaman. Tugas pokok tim ini adalah merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional dari tujuan-tujuan umum, memilih dan menyusun sequence bahan pelajaran, memilih strategi pengajaran, dan alat atau petunjuk evaluasi, serta menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum bagi guru. 
  3. Langkah ketiga, apabila kurikulum sudah selesai disusun oleh tim atau kelompok kerja, selanjutnya hasilnya diserahkan kepada tim perumus untuk dikaji dan diberi catatan-catatan atau direvisi. Bila dianggap perlu, kurikulum itu di uji cobakan dan dievaluasi kelayakannya, oleh suatu tim yang ditunjuk oleh para administrator. Hasil uji coba itu digunakan sebagai bahan penyempurnaan. 
  4. Langkah keempat, para administrator selanjutnya memerintahkan kepada setiap sekolah untuk mengimplementasikan kurikulum yang telah tersusun itu.
Dari langkah-langkah pengembangan seperti yang telah dikemukakan di atas, maka tampak jelas bahwa inisiatif penyempurnaan atau perubahan kurikulum dimulai oleh pemegang kebijakan kurikulum, atau para pejabat yang berhubungan dengan pendidikan; sedangkan tugas guru hanya sebagai pelaksana kurikulum yang telah ditentukan oleh para pemegang kebijakan.

2. Pendekatan Grass Roots
Pada model grass roots, inisiatif pengembangan kurikulum dimulai dari lapangan atau dari guru-guru sebagai implementator, kemudian menyebar pada lingkungan yang lebih luas, makanya pengembangan kurikulum ini disebut juga pengembangan kurikulum dari bawah ke atas. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka pendekatan ini lebih banyak digunakan dalam penyempurnaan kurikulum (curiculum improvemnt), walaupun dalam skala yang terbatas mungkin juga digunakan dalam pengembangan kurikulum baru (curiculum constraction).
 Minimal ada dua syarat sebagai kondisi yang memungkinkan pendekatan grass root dapat berlangsung. Pertama, manakala kurikulum itu benar-benar bersifat lentur sehingga memberikan kesempatan kepada setiap guru secara lebih terbuka untuk memperbarui atau menyempurnakan kurikulum yang sedang diberakukan. Kurikulum yang bersifat kaku, yang hanya mengandung petunjuk dan persyaratan teknis sangat sulit dilakukan pengembangannya dengan pendekatan ini. Kedua, pendekatan grass root hanya mungkin terjadi jika guru memiliki sikap professional yan tinggi disertai kemampuan yang memadai.
 Ada beberapa langkah penyempurnaan kurkulum yang dapat kita lakukan manakala enggunakan pendekatan grass root ini. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Menyadari adanya masalah. Pendekatan grass root biasanya diawali dari keresahan guru tentang kurikulum yang berlaku. Misalnya dirasakannya ketidakcocokan penggunaan strategi pembelajaran, atau kegiatan evaluasi seperti yang diharapkan, atau masalah kuangnya motivasi belajar siswa, sehingga kita merasa tertanggu dan lain sebagainya. Pemahaman dan ksadaran guru akan adanya suatu masalah merupakan kunci dalam grass root. Tanpa adanya kesadaran masalah tidak mingkin grass roots dapat berlangsung. 
  2. Mengadakan refleksi. Kalau kita merasakan adanya masalah, maka selanjutnya kita berusaha mencari penyebab muncunya masalah tersebut. Refleksi dilakukan dengan mengkaji literature yang relevan. Misalnya dengan membaca buku, jurnal hasil penelitian yang relevan dengan masalah yan kita hadapi, atau mengkaji sumber informasi lain. Misalnya melacak sumber-sumber dari internet, atau melakukan diskusi dengan teman sejawat dan mengkaji sumber dari lapangan.
  3. Mengajukan hipotesis atau jawaban sementara. Berdasarkan hasl kajian refleksi, selanjutnya uru memetakan berbagai kemungkinan munculnya masalah dan cara penanggulangannya.
  4. Menentukan hipotesis yang sangat mungkin dekat dan dapat dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan. Tidak mungkin berbagai kemungkinan bias kita laksanakan. Dalam langkah ini kita hanya memilih kemungkinan yang dapat dilakukan dan selanjutnya merncanakan apa ynag harus kita lakukan untuk mengatasi masalah ersebut. Disamping itu kita juga dapat memperhitungkan berbagai kemungkinan yang akan muncul, misalnya berbagai hambatan yang akan terjadi sehingga lebih dini kita akan dapat mengatasi hambatan-hambatn tersebut. 
  5. Mengimplementasikan perencanaan dan mengevaluasinya secara terus-menerus hingga terpechkan masalah yang dihadapi. Alam proses pelaksaannya, Kita dapat berkolaborasi atau meinta pendapat teman sejawat.
  6. Membuat dan menyusun laporan hasil pelaksanaan pengembangan melalui grass roots. Langkah ini sangat penting untuk dilakukan sebagai bahan publikasi dan diseminasi, sehingga memungkinkan dapat dimanfaatkan dan diterapkan oleh orang lain yang pada gilirannya hasil pengembangan dapat tersebar.

B. MODEL-MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM
Dalam pengembangan kurikulum ada beberapa model yang dapat digunakan. Tiap model memiliki kekhasan tertentu baik dilihat dari keluasan pengembangan kurikulumnya itu sendiri maupun dilihat dari tahapan pendekatannya maupun pengembangannya;

1. Model Tyler
Pengembangan kurikulum model Tyler yang dapat ditemukan dalam buka classis yang sampai sekarang banyak dijadikan rujukan pada proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini, ada 4 hal yang dianggap fundamental untuk mengembangkan kurikulum :
1. Menentukan tujuaan
2. Menentukan pengalaman belajar
3. Mengorganisasi pengalaman belajar
4. Evaluasi

2. Model Taba
Berbeda dengan model yang dikembangkan Tyler, model taba lebih menitikberatkan pada bagaimana mengembangkan kurikulum sebagai suatu proses perbaikan dan penyempurnaan. Oleh karena itu dalam model ini dikembangkan tahap-tahap yang harus dilakukan oleh para pengembang kurikulum.
Ada 5 langkah pengembangan kurikulum model Taba
1. Menghasilkan unit-unit percobaan
            2. Menguji coba unit eksperimen untuk menentukan validitas dan kelayakan penggunaannya
3. Merivisi dan mengonsolidasi unit eksperimen
4. Mengembangkan keseluruhan rangka kurikulum
5. Mengimplementasi kurikulum yang telah teruji

3. Model Oliva
Menurut olive suatu model kurikulum harus bersifat simpel, komprensif, dan sistematik. Menurut olive model yang dikembangkan ini dapat digunakan dalam beberapa dimensi. Yang pertama untuk menyempurnakan kurikulum sekolah dalam bidang-bidang khsus misalkan penyempurnaan kurikulum bidang studi tertentu disekolah, baik dalam tataran perencanaan kurikulum maupun dalam proses pembelajarannya. Kedua, model ini juga dapat digunakan untuk membuat keputusan dalam merancang program kurikulum. Ketiga model ini dapat digunakan dalam program pembelajaran secara khusus.

4. Model Beauchamp
Model ini dinamakan system Beauchamp, karena memang diciptakan dan dikembangkan oleh Bauchamp seorang ahli kurikulum. Beauchamp mengemukakan ada lima langkah dalam proses pengembangan kurikulum.
  • Menetapkan wilayah atau arena yang akan melakukan perubahan suatu kurikulum. Wilayah itu bias terjadi pada hanya satu sekolah, satu kecamatan, kabupaten, atau mungkin tingkat provinsi dan tingkat nasional.
  • Menetapkan orang-orang yang akan terlibat dalam proses pngembangan kurikulum. Ia menyarankan untuk melibatkan seluas-luasnya para tokoh di masyarakat. Baik itu para ahli/ spesialis kurikulum, para ahli pendidikan serta para professional dalam bidang lain. 
  • Menetapkan prosedur yang akan ditempuh, yaitu dalam hal merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus, memilih isi dan pengalaman belajar serta menetapkan evaluasi. Keseluruhan prosedur itu selanjutnya dapat dibagi dalam lima langkah: 
         1). Membentuk tim pengembang kurikulum
         2). Melakukan penilaian terhadap kurikulum yang sedang berjalan
         3). Melakukan studi atau penjajakan tentang penentuan kurikulum baru
         4). Merumuskan kriteria dan alternative pengembang kurikulum
         5). Menyusun dan menulis kurikulum yang dikehendaki
  •   Implementasi kurikulum. Pada tahap ini perlu dipersiapkan secara matang berbagai hal yang dapat berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap efektivitas penggunaan kurikulum.
  • Melaksanakan evaluasi kurikulum yang menyangkut: 
         1). Evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru di sekolah
         2). Evaluasi terhadap desain kurikulum
         3). Evaluasi keberhasilan amak didik
         4). Evaluasi system kurikulum

5. Model Wheeler
Menurut Wheller, pengembangan kurikulum merupakan suatu proses ynag membentuk lingkaran yang terjadi secara terus menerus. Dimana ada lima fase (tahap). Setiap tahap merupakan pekerjaan yang berlangsung secara sistematis atau berturut. Artinya, kita tidak mungkin dapat menyelesaikan tahapan kedua manakala tahapan pertama belum terselesaikan. Namun demikian, manakala setiap tahap sudah selesai dikerjakan, kita akan kembali pada tahap awal. Deikian proses pengembangan sebuah kurikulum berlangsung tanpa ujung.
Wheller berpendapat, pengembangan kurikulum terdiri atas lima tahap, yakni:
a. Menentukan tujuan umum dan tujuan khusus.
b. Menentukan pengalaman belajar yang mungkin dapat dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dalam langkah pertama.

c. Menentukan isi atau materi pembelajaran sesuai dengan pengelaman belajar

d. Mengorganisasi atau menyatukan pengalaman belajar dengan isi atau materi belajar

e. Melakukan evaluasi setiap fase pengembangan dan pencapaian tujuan

6. Model Nicholls
Dalam bukunya Developing a Curriculum: a Practical Guide (1978), Howard Nicholls menjelaskan bahwa pendekatan pengembangan kurikulum terdiri atas elemen-elemen kurikulum yang membentuk siklus.
 Model pengembangan kurikulum Nicholls menggunakan pendekatan siklus seperti model Wheeler. Model Nicholls digunakan apabila ingin menyusun kurikulum baru yang diakibatkan oleh terjadinya perubahan situasi.Ada lima langkah pengembangan kurikulum menurut Nicholls, yaitu:
a. Analisis sesuatu
b. Menentukan tujuan khusus
c. Menentukan dan mengorganisasi isi pelajaran
d. Menentukan dan mengorganisasi metode
e. Evaluasi

7. Model Dynamic Skilbeck
Menurut Skilbeck, model pengembangan kurikulum yang ia namakan model Dynamic,b adalah model pngembangan kurikulum pada level sekolah (School Nased Curriculum Development) Skilbeck menjelaskan model ini diperuntukkan untuk setiap guru yang ingin mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. Agar proses pengembangan berjalan dengan baik, maka setiap pengembang termasuk guru perlu memahami lima elemen pokok yang dimulai dari mennganalisis situasi sampai pada melakukan penilaian. Skilbeck menganjurkan model pengembangan kurikulum yang ia susun dapat dijadikan alternative dalam pengembangan kurikulum tingkat sekolah. Menurut Skilbeck langkah-langakah pengembangan kurikulum adalah sebagai berikut:
a. Menganalisis sesuatu
b. Memformulasikan tujuan
c. Menyususn program
d. Interpretasi dan implementasi
e. Monitoring, feedback, penilaian, dan rekonstruksi


C. LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
1. Landasan Filosofis
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti : perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (2003), di bawah ini diuraikan tentang isi dari-dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
  1. Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
  2. Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
  3. Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia ? Apa pengalaman itu ?
  4. Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
  5. Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu ? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.
Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme.

2. Landasan Psikologis
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologi yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi merupakan “karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal dengan referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi“.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu :
  1. motif; sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi.
  2. bawaan; yaitu karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi.
  3. konsep diri; yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang;
  4. pengetahuan; yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang; dan
  5. keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental.
Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya manusia atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan. Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk dikenali dan dikembangkan.
Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2002) menyoroti tentang aspek perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan; (2) perbedaan kreativitas; (3) perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik; dan (5) pertumbuhan dan perkembangan kognitif.

3. Landasan Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat. Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat. Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang.
Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial – budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.

4.Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif sederhana, namun sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia bisa menginjakkan kaki di Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan.
Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal.
Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian..
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia.

5. Landasan Yuridis
Landasan yuridis yang mendasari adanya penyempurnaan kurikulum antara lain:
1.   Perubahan pada UUD 1945 Pasal 31 tentang pendidikan.
2.   TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004: Bab IV bagian E, butir  3, mengenai pembaruan system pendidikan termasuk di dalam-nya pembaruan kurikulum.
3.  Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
4.  Undang-Undang No. 22 Tahun 1999: Bab IV Pasal 7 tentang Kewenangan Daerah.
5. Peraturan pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Daerah Propinsi sebagai daerah otonom.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proposal Kegiatan Study Wisata Museum

Makalah Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP)

Filsafat Pendidikan Aliran Esensialisme