Dia Melengkapiku (adalah sebuah kebohongan)
Aku melihat gambar ini suatu pagi di salah satu media sosialku, dan aku merasa terganggu (jika kamu juga mengunggah gambar yang sama, tulisan ini tidak bermaksud menyerangmu; aku hanya ingin membagikan pemikiranku tentang pesan yang disampaikan gambar ini). Gambar ini menarik dan menyentuh hati. Gambar ini memberitahu kita bahwa: “dia” membuat segalanya lebih baik. Si “dia” menyingkirkan semua pikiran dan suara negatif di dalam diriku. Pada dasarnya, si “dia” adalah sang penyelamat.
Gagasan serupa yang juga diangkat dalam film A Walk To Remember.
Lagi-lagi, ini adalah sebuah tayangan yang menarik. Tetapi, sama seperti banyak
tontonan lainnya, film ini membombardir kita dengan pandangan yang kelihatannya
ideal tentang hubungan, tetapi sebenarnya merusak (sampai di sini aku sadar
bahwa pernyataanku mungkin bikin banyak orang merasa tidak nyaman). Film itu,
sama seperti gambar di atas, membuat aku naik darah. Mengapa? Karena sangatlah
egois dan jahat bila kamu membebani orang yang kamu kasihi dengan harapan bahwa
ia harus menjadi penyelamat hidupmu.
Banyak orang yang belum menikah, memuja hubungan cinta. Hidup mereka adalah
untuk mendapatkan cinta. Aku melihat fenomena ini terjadi setiap hari di tempat
kerjaku. Kita punya harapan yang besar dari sebuah hubungan cinta. Kita
mengharapkan pasangan kita mencintai kita, menghargai kita, tidak pernah
meninggalkan kita, tidak pernah mencelakakan kita, melayani kita, dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan kita. “Dia melengkapi hidupku!” demikian angan-angan kita,
adakalanya tanpa pertimbangan akal sehat. Kita berusaha sekuat tenaga mencari
“jodoh” kita, orang yang akan membuat hidup kita penuh arti dan keberadaan kita
dihargai.
Gagasan tentang “jodoh” bahkan cukup populer di kalangan orang Kristen. “Temukan
pasangan yang sudah disediakan Tuhan untukmu!” kurang lebih begitulah
slogan dari sebuah situs web perjodohan, Christian Mingle. Konsep
jodoh ini sebenarnya tidak alkitabiah (meski sebagian orang berusaha membuktikan
sebaliknya). Konsep ini berasal dari ajaran Plato yang berkembang di Yunani,
yang mengatakan bahwa manusia dulunya adalah makhluk yang sempurna, namun
kemudian terbelah menjadi dua. Sebab itu, sepanjang hidup manusia terus mencari
belahan jiwanya. Sebuah konsep yang buruk. Mengapa? Karena jika kamu belum
menikah, mungkin sekali kamu percaya—sampai taraf tertentu—bahwa hidupmu
tidaklah lengkap tanpa belahan jiwamu, dan kamu tidak berusaha menata hidupmu
sendiri sebelum menemukan orang itu. Jika kamu sedang berpacaran, mungkin kamu
terus-menerus tidak yakin apakah pacarmu adalah orang yang tepat, dan kamu
tidak berusaha memperbaiki kualitas hubunganmu. Ketika kamu menikah dan
pernikahanmu bermasalah, hal pertama yang melintas dalam pikiranmu adalah,
“Mungkinkah pasanganku ini sebenarnya bukan belahan jiwaku?”
Sebagai seorang pemuda yang sudah punya pacar dan sempat bergumul dengan
depresi selama bertahun-tahun, aku merasa konsep ini sangatlah mengganggu. Memang benar, sewaktu aku masih jomblo, aku pernah berpikir bahwa seandainya
aku memiliki seorang pacar yang mencintai aku, maka semua depresi, kegelisahan,
rasa tidak aman, dan ketakutanku, tentu akan sirna. Sesungguhnya, aku sedang
menjadikan hubungan cinta sebagai “Tuhan” dan penyelamat hidupku. Jika aku
menemukan “dia”, hidupku akan lengkap, aku akan pulih, aku tidak akan lagi
bergumul dengan depresi. Aku menjadikan pacarku sebagai berhala,
mengharapkannya menjadi seperti Tuhan. Jelas itu sebuah peran yang mustahil
dipenuhinya. Pacarku bukan Tuhan. Benar bahwa dia seringkali menguatkan,
mendorongku berjuang, melengkapi, dan membuat hidupku terasa berarti. Tetapi,
bukan dia yang menentukan hidupku. Dia tidak mengubah hakikat diriku. Dia tidak
bisa mengendalikan sepenuhnya keseimbangan kimia di otakku. Dan, dia tidak bisa
menjadi sumber rasa berharga dan tujuan hidupku.
Bayangkan identitas diri dan kepribadianmu seperti sebuah koper. Kamu
mengisi hidupmu dan kopermu dengan hal-hal yang penting bagimu. Begitu juga
dengan semua orang lainnya. Namun, ketika aku menjadikan orang lain sebagai
dasar identitas dan pengharapanku, itu sama seperti meminta mereka membawakan
koperku; menyuruh mereka berhenti mengurus hal-hal yang penting bagi mereka,
dan hanya mengurus apa yang penting bagiku. Tidakkah hubungan cinta semacam itu
jauh dari indah?
Pada intinya, menaruh pengharapan yang tidak realistis kepada orang yang
katanya kamu kasihi itu sangatlah egois dan membebani.
Sebab itu, aku tidak berharap hubungan cintaku akan “memperbaiki” depresiku.
Seorang sahabat, pacar, atau pasangan mungkin bisa membantuku menghadapi
masalah, tetapi mereka tidak bisa memulihkanku. Hanya Yesus yang bisa. Jawaban
bagi suara-suara negatif dalam diri bukanlah dukungan dan sikap manis dari
orang lain; tetapi kebenaran yang disampaikan dalam kasih, dari Allah sendiri,
Sang Pemilik Hidup kita. (Mark
Stromenberg)

Komentar
Posting Komentar